Jumat, 28 Februari 2014

Jejak Langkah Patriotisme di Bumi Gorontalo

 
 
 

 http://mardinusi.blogspot.com

Jejak Langkah Patriotisme di Bumi Gorontalo

Patriotisme berasal dari kata “Patriot”, yang artinya adalah: pecinta dan pembela tanah air. Sedangkan Patriotisme maksudnya adalah semangat cinta tanah air. Pengertian Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air, seorang pejuang sejati, pejuang bangsa yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana ia sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air.
Dalam sejumlah literatur dan referensi sejarah menunjukkan bahwa daerah Gorontalo tidak pernah sepi dari gerakan patriotisme dalam melawan penjajahan dimulai dari masa kolonialisme Belanda, masa pergerakan, masa pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan. Tidak berhenti sampai disitu, gerakan patriotisme terus berlanjut sampai masa pembangunan. Melalui tulisan ini diharapkan, semangat patriotisme tersebut senantiasa bergelora dalam relung sanubari setiap warga Gorontalo dan dapat diwariskan secara turun temurun kepada generasi mendatang.
Masa penjajahan Belanda
Masuknya Belanda ke Gorontalo melalui jalur wilayah kekuasaan kerajaan Ternate. Pada tahun 1678 pertama kali diadakan kontrak dengan raja Gorontalo, agar Gorontalo tunduk pada kekuasaan Beanda yang berkedudukan di Ternate. Pada tahun 1705 Belanda telah dapat mendirikan sebuah kantor dagang di Gorontalo. Dari sinilah, kekuasan Belanda atas daratan Gorontalo resmi dimulai.
Dalam masa pendudukan Belanda tercatat ada 3 peristiwa patriotisme yang menonjol di Gorontalo yaitu Perang Padang, Perang Panipi serta perlawanan Olabu dan Tamuu. Pada tahun 1678 Gubernur VOC di Ternate R.Padbrugge mengajukan kontrak kepada raja Biya, raja Gorontalo.Namun kontrak tersebut tidak diikuti oleh raja Biya dan rakyat Gorontalo. Hal ini menyebabkan Padburugge pada tahun 1681 memutuskan untuk menyerang Gorontalo dan menyebabkan pecahnya perang Padang (Padengo). Dalam perang tersebut, kubu padang dapat direbut oleh Belanda. Para tokoh Gorontalo dalam perang Padang ditangkap dan diasingkan. Raja Biya dibuang ke Ceylon.Isnaeni diasingkan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Sedangkan kapitan laut dan Ilato tidak diketahui keberadaanya.
Kegiatan pungutan yang dilakukan Belanda secara paksa kepada rakyat serta usaha merubah sistem kerajaan menjadi distrik menjadi pemicu terjadinya perang panipi. Pada tahun 1872 Raja Bobihu, raja Panipi memimpin rakyat untuk melakukan perlawanan. Namun beliau bersama empat tokoh yang lain ditangkap dan dibuang ke Gowa, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1874 perang panipi meletus lagi setelah raja Bobihu kembali ke Gorontalo. Pada perang kedua ini, Raja Bobihu tertembak dan gugur dalam pertempuran. Berakhirlah perang dan kekuasaan jatuh ke tangan Belanda.
Di Sumalata terdapat dua tokoh masyarakat yang sangat disegani yaitu Olabu dan Tamuu. Keduanya sangat anti terhadap sistem perpajakan yang diterapkan oleh VOC. Pada tahun 1899 terjadi pemukulan pekerja tambang emas maskapai north celebes di Sumalata oleh seorang pegawai kolonial. Pemukulan ini menjadi awal perjuangan Olabu dan Tamuu untuk melakukan perlawanan terhadapVOC. Namun akhirnya keduanya dapat ditangkap oleh Belanda. Olabu diasingkan ke Sawahlunto dan Tamuu diasingkan ke Pontianak.
Sejumlah raja di beberapa kerajaan yang bediri di wilayah Gorontalo juga melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Raja Eyato, raja Gorontalo di utara memerintah tahun 1673-1674. Di masa pemerintahannya, terjadi dua kali perang yaitu pada tahun 1674 melawan kerajaan Ternate yang dibantu oleh Belanda dan tahun 1677 melawan Belanda. Raja Eyato ditangkap Belanda saat diundang berunding di atas kapal Belanda yang berlabuh di Sungai Bone dan diasingkan ke Ceylon. Raja Botutihe, raja Gorontalo di selatan memerintah tahun 1728-1755. Saat itu Belanda mulai memperkuat kedudukannya di Gorontalo dengan menempatkan aparat-aparatnya. Raja Botutihe berusaha pula memperkuat kerajaannya dengan menempatkan ibukota kerajaan di lokasi strategis, mendirikan bantayo poboide, masjid kerajaan dan perumahan para pembesar istana. Dengan jalan inilah, beliau menjalankan siasat halus menentang masuknya Belanda ke Gorontalo. Raja Iskandar Monoarfa adalah raja Gorontalo di Selatan. Selama masa pemerintahannya, kontrak-kontrak yang dilakukan Belanda selalu ditentang. Atas sikapnya itu, beliau ditangkap dua kali yaitu tahun 1758 dan 1777 serta diasingkan ke Ternate.
Perlawanan para raja di Wilayah Gorontalo terhadap kontrak yang dibuat Belanda terus berlanjut. Raja Abdurrahman adalah raja Limboto di utara. Selama masa pemerintahannya, semua kontrak yang diajukan Belanda selalu ditolak. Akibatnya dua kali beliau dibebastugaskan dari jabatannya sebagai raja yaitu tahun 1826 dan 1831.Walaupun demikian beliau tetap bersikap keras terhadap Belanda sehingga pada tahun 1855 beliau ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Raja Bumulo II sebagai raja Gorontalo di selatan pada tahun 1831 ditangkap belanda dan diasingkan ke Minahasa karena menentang pelaksanaan kontrak. Raja Wartabone sebagai raja Suwawa pada tahun 1849 menentang kontrak yang sedang berjalan. Raja Mustapa sebagai raja Boalemo pada tahun 1855 dibebastugaskan dari jabatannya karena tidak menjalankan kontrak belanda.
Pada tahun 1858, rakyat kerajaan Atinggola dibawah pimpinan raja Ahiya melakukan perlawanan tehadap belanda oleh karena status kerajaan Atinggola dialihkan menjadi bentuk distrik. Pada tahun 1860 raja Arus Bone I sebagai raja suwawa menolak pendirian perusahaan tambang emas Belanda di Moloti. Pada tahun 1885 raja Arus Bone II menolak penanaman kopi di Sinandaha. Pada tahun 1886 raja Tangahu menolak tawaran pemberian gaji oleh pemerintah Belanda.
Masa Pergerakan
Sejak kelahiran Budi Utomo pada tahun 1908 di pulau Jawa, maka mulai muncul berbagai organisasi sosial dan politik di Gorontalo. Diawali dengan pendirian organisasi Sinar Budi yang dipelopori oleh Husain Katili, Saleha Mina dan Patihedu Monoarfa. Sinar Budi bertujuan untuk menghimpun seluruh rakyat Gorontalo dalam satu wadah perjuangan sebagaimana yang terjadi di puau Jawa. Sarikat Islam (SI) lahir di Gorontalo dibidani oleh Karel Panamo dan Jusuf Sabah. Ditandai dengan kedatangan tokoh SI pusat H.O.S. Cokroaminoto ke Gorontalo pada 1923. SI berjuang dengan mendirikan sekolah, asrama dan media massa. Muhammadiyah Gorontalo didirikan oleh Jusuf Otoluwa dan berhasil mengundang sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah M. Junus Anis ke Gorontalo pada 1928. Muhammadiyah telah mendirikan sekolah/madrasah mulai dari tingkat dasar sampai lanjutan atas, masjid, dan pusat-pusat kesehatan rakyat di berbagai ranting di daerah Gorontalo. Nahdhatul Ulama (NU) berdiri di Gorontalo pada tahun 1935 atas inisiatif Salim Bin Djindan. NU Gorontalo juga mendirikan sejumlah sekolah dan taman pengajian pada ranting-rantingnya. Partai Indonesia (Partindo) cabang Gorontalo didirikan oleh Nani Wartabone dan rekan-rekan. Mereka pernah mengadakan rapat umum yang menghadirkan tokoh partindo pusat Mr.Ishak Cokrohadisuryo. Pada tahun 1937, Abdullah Djibran bersama sejumlah tokoh lainnya mendirikan cabang Partai Arab Indonesia (PAI) di Gorontalo. PAI mendirikan madrasah Alfatah dan gerakan kepanduan hizbul Arab Indonesia.
Seperti di daerah lain di Indonesia, para pemuda Gorontalo juga mendirikan sejumlah organisasi kepemudaan. Pada 15 Mei 1928, para pelajar Gorontalo yang bersekolah di Tondano mendirikan organisasi yang diberi nama Jong Gorontalo. Para pelajar asal Gorontalo yang belajar di sekolah OSVIA Makassar berinisiatif mendirikan Jong Islamieten Bond cabang Gorontalo. Terpilih sebagai ketua JIB Gorontalo Djafar Arbie. Sewaktu JIB Gorontalo menghadiri konferensi JIB di Yogyakarta, salah seorang anggota delegasi Gorontalo Marie Olii mendapat julukan Sriandi dari Sulawesi. Di Gorontalo berdiri pula Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI cabang Gorontalo didirikan oleh Drajat. Bersama dengan Husain Laiya, mereka melatih para pemuda Gorontalo di bidang kepanduan. Pada tahun 1930 Naim Mooduto membentuk kesebelasan bond Gorontalo.
Pada bulan Mei 1939 di pulau Jawa berdiri organisasi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang memperjuangkan konsep “Indonesia berparlemen”. Pada Oktober 1939 dibentuk pula GAPI di Gorontalo, yang beranggotakan seluruh organisasi yang ada di Gorontalo. GAPI mengadakan rapat umum pertama dengan salah satu oratornya adalah Kusno Danupoyo.
Peristiwa Patriotik 23 Januari 1942
Pada tahun 1941 pemerintah Belanda merencanakan pembumi hangusan segala aset di daerah jajahan termasuk di daerah Gorontalo apabila terjadi serbuan Jepang. Rencana ini diketahui oleh seorang wanita yang bernama Saripa Rahman Hala, yang sehari-hari bertugas selaku penyelidik pada pemerintahan Belanda. Dilandasi semangat nasionalisme, Saripa Rahman Hala membocorkan informasi ini kepada O.Kaharu dan ahmad Hipy dan diteruskan ke Kusno Danupoyo.
Dalam menghadapi rencana Belanda tersebut, dilangsungkan rapat rahasia di kediaman Kusno Danupoyo. Hasilnya dibentuk komite duabelas sebagai wadah perjuangan. Komite ini terdiri atas Nani Wartabone (Ketua), Kusno Danupoyo (Wakil ketua), Oe.H. Buluati (Sekretaris), A.R.Ointoe (Wakil sekretaris), beranggotakan: Usman Monorfa, Usman Hadju, Usman Tumu, A.G.Usu, M.Sugondo, R.M.Danuwatio, Sagaf Alhasni dan Hasan Badjeber.
Tanggal 23 Januari 1942 dilaksanakan perebutan kekuasaan dari tangan penjajah Belanda dengan menangkap 15 orang anggota pemerintah Belanda di Gorontalo. Pada saat itu dengan dipimpin oleh Nani Wartabone dinaikkan dan dikibarkan bendera Merah Putih sebagai bukti bahwa daerah Gorontalo telah merdeka. Untuk melaksanakan pemerintahan yang ditinggalkan Belanda dibentuk pucuk pimpinan pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang terdiri dari 12 orang anggota komite duabelas dibawah pimpinan Nani Watabone.
Berita tentang peristiwa 23 Januari dan berdirinya PPPG di Gorontalo, disebarkan ke daerah di sekitarGorontalo dengan maksud guna membangkitkan semangat perjuangan rakyat di daerah tersebut untuk meraih kemerdekaan. Diutuslah Muhammad Tahir ke Banggai, Ismail Komda ke Ampana, Dai Wartabone ke Una-una dan Ibrahim Usman ke Toli-Toli.
Masa Pendudukan Jepang
Jepang masuk ke Gorontalo pada Februari 1942. Mereka mulai memperkuat kedudukannya pada bulan Maret 1942 dengan mengibarkan bendera Hinomaru berdampingan dengan sang saka merah putih. Pada bulan Juni 1942 pemerintahan Gorontalo yang merdeka, diambil alih oleh Jepang.
Selama pendudukan Jepang tercatat sebuah peristiwa patritoik yaitu perlawanan Ali Palalu dan Kasim pada bulan Maret 1943. Perlawanan mereka terkait dengan aturan Jepang yang mewajibkan menanam kapas dan melarang membawa beras dari satu desa ke desa yang lain. Dalam peristiwa tersebut, beberapa orang polisi Jepang tewas. Ali Palalu dan Kasim beserta teman-temannya ditangkap dan dihukum pancung.
Pada 9 September 1945 pemerintah Jepang di Gorontalo menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemerintahan Goontalo dibawah pimpinan Nani Wartabone, ditandai dengan penurunan bendera Hinomaru dan penaikan bendera sang saka merah puth.
Masa Kemerdekaan
Beberapa hari setelah penyerahan kekuasan Jepang, tentara sekutu tiba di Manado. Ikut serta dalam rombongan tersebut, NICA yang bertugas menyelidiki tawanan-tawanan Belanda. Berita kedatangan NICA ini, diketahui oleh pimpinan pemerintahan daerah Gorontalo. Oleh karenanya pada 5 November 1945 didirikan suatu badan yang bernama dewan nasional. Hasil keputusan dewan nasional yang terkenal dengan ”putusan dharma dua” yaitu bahwa pemerintahan di Gorontalo adalah bagian dari pemerintahan Republik Indonesia dan bahwa pemerintahan di Gorontalo dipimpin oleh seorang kepala daerah. Putusan ini hendak menegaskan bahwa rakyat Gorontalo menolak masuknya NICA sebagai bagian dari Belanda yang ingin menegakkan kembali pemerintah kolonial.
Pada November 1945, tentara NICA masuk ke Gorontalo dengan membonceng tentara Sekutu yang dipimpin Mayor Wilson. Salah satu peristiwa patriotik rakyat Gorontalo dalam menentang NICA adalah penyerangan tangsi NICA di kota Gorontalo. Pada Desember 1945 Yusuf Yunus bersama pasukan bawah tanah mengadakan serangan ke asrama NICA. Mereka menyamar menjadi penjual ikan. Sebelum maksud mereka untuk membongkar gudang senjata teraksana, pihak NICA telah melihat mereka dan melakukan penembakan. Yusuf Yunus dan anggota pasukan yang lain berhasil meloloskan diri akan tetapi Harun Honggo tertembak dan gugur di tempat.
Sebagai wujud nyata rakyat Gorontalo untuk menentang kembali pejajahan maka pada tahun 1946 berdiri organisasi yang bernama Gerakan Kebangsaan Indonesia (Gerkindo) dan diketuai oleh Abdulah Uno. Pada tahun 1947 berdiri organisasi yang bernama Gerakan Pemuda Indonesia (Gerpindo) dengan tujuan yang sama. Di antara pemuda yang menjadi aktivis Gerpindo adalah G.Bokings dan Az.Hippy.
Pada tahun 1946 berdiri Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat. Para tokoh Gorontalo yang duduk sebagai anggota parlemen NIT menuntut pembubaran NIT karena tidak sesuai dengan semangat konstitusi NKRI. Tercatat ungkapan yang pernah dikemukakan oleh Ayuba Wartabone sebagai wakil dari Gorontalo: ”Rakyat Gorontalo sekali ke Yogya tetap ke Yogya, sekali merdeka tetap merdeka”.
Pada tahun 1958 terjadi peristiwa PERMESTA di Sulawesi Utara. Mereka menyiarkan pernyataan bahwa bergabung dengan gerakan PRRI di Padang. Mereka juga meminta Nani wartabone agar bergabung dengan PERMESTA. Akan tetapi usaha ini gagal, bahkan Nani Wartabone melakukan perlawanan dengan jalan bergerilya di rimba Suwawa, sehingga pasukan yang beliau pimpin dikenal sebagai pasukan rimba. Pada Mei 1958 batalion 512 Brawijaya tiba di Gorontalo dibawah pimpinan Mayor Agus Prasmono. Mereka mengadakan pembersihan PERMESTA yang ada di Gorontalo. Operasi ini berjalan lancar karena mendapat dukngan rakyat. Bahkan anggota detasemen I ini banyak putra Gorontalo, diantaranya Kapten Piola Isa sebagai komandan detasemen I batalyon 512.
Pada tahun 1964 terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soekarno mengeluarkan intruksi yang diberi nama DWIKORA. Untuk mendukung operasi tersebut, Angkatan Udara mengerahkan pesawat B-25 Mitchel, UF-1 Albatros, C-130 Hercules, TU-16. Dalam operasi ini, seorang tokoh Gorontalo ikut terlibat yaitu Letkol Pnb Djalaludin Tantu. Beliau menerbangkan pesawat C-130 Hercules dengan nomor T-1307. Pesawat yang diterbangkan oleh Letkol Pnb Djalaludin Tantu ini membawa pasukan PGT berjumlah 47 orang dipimpin Letkol Udara Sugiri Sukani, yang akan diterjunkan di daerah perbatasan. Pesawat kehilangan kontak dan dinyatakan hilang. Seluruh penumpangnya dinyatakan gugur, termasuk Letkol Pnb Djalaludin Tantu dan Letkol Udara Sugiri Sukani. Untuk mengenang perjuangannya, nama Djalaludin Tantu diabadikan sebagai nama bandara di Gorontalo.
Dalam masa peralihan dari orde lama dan orde baru, para pelajar dan mahasiswa Indonesia bergabung dalam angkatan 1966 menuntut TRITURA. Perjuangan Angkatan 66, berlaku dalam suka duka, dalam pahit manis perjuangan. Banyak resiko yang ditempuh, mulai dari sekedar penderitaan kekurangan makan, tekanan dan siksaan fisik, sampai pada kematian. Banyak korban tewas dalam perjuangan panjang menegakkan Ode Baru. Dalam aksi tanggal 24 Februari 1966 di Jakarta, gugur dua orang pejuang Angkatan 66, yakni Zubaedah (PII/KAPPI), dan Arief Rahman Hakim (HMI/KAMI). Selain itu di sejumlah daerah terdapat pejuang angkatan 66 yang gugur diantaranya Yusuf Hasiru, asal Gorontalo dan Dicky Oroh (Kedunya Pelajar di Manado) gugur tanggal 31 Maret 1966. Untuk mengenang perjuangannya, nama Yusuf Hasiru diabadikan sebagai nama jalan di kota Gorontalo.
Masa Pembangunan
Pada masa pembangunan, patriotisme tidak lagi berwujud perlawanan bersenjata melawan kolonialisme, tetapi sudah berbentuk perlawanan terhadap kebodohan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan. Semangat patriotisme tersebut tercermin dalam berbagai sektor pembangunan.
Di bidang pendidikan, sejarah mencatat jejak langkah patriotisme terjadi sewaktu berdirinya IKIP Negeri Manado cabang Gorontalo. Pada akhir tahun 1971,caretaker rektor IKIP Negeri Manado mengeluarkan instruksi bahwa mulai tahun 1972 IKIP Negeri Manado cabang Gorontalo tidak diperkenankan menerima mahasiswa baru dan dinyatakan phasing out (penutupan secara bertahap). Instruksi ini segara disusul dengan diterbitkannya SK nomor 269/I/1972 tanggal 27 Oktober 1972. Instruksi ini ibarat petir di siang bolong, jelas menimbulkan kepanikan di kalangan civitas akademika karena terkait dengan hidup dan matinya lembaga. Berbagai pihak internal maupun eksternal kampus berusaha berjuang agar IKIP Manado Cabang Gorontalo tetap eksis. Perjuangan membuahkan hasil dengan dikeluarkannya SK Rektor IKIP Manado nomor:951/I/1975 tentang pencabutan SK phassing out. IKIP Manado Cabang Gorontalo diizinkan untuk menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 1976.
Pada tahun 1980 terjadi lagi phassing out kedua, dimana dalam Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 1980, IKIP Manado Cabang Gorontalo harus ditutup. Bahkan senat IKIP Manado berencana menjadikan IKIP Manado cabang Gorontalo menjadi Fakultas Pendidikan Lingkungan hidup. Menghadapi hal ini, maka pimpinan lembaga dan seluruh civitas akademika beserta pemerintah daerah kota dan kabupaten Gorontalo terus melakukan upaya perjuangan di pusat. Akhirnya pemerintah pusat menyetujui perubahan status IKIP Manado cabang Gorontalo menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sam Ratulangi di Gorontalo terhitung mulai 7 September 1982. Selanjutnya seiring perkembangan dan tuntutan zaman, maka FKIP Unsrat berubah status menjadi STKIP Gorontalo pada 1993, selanjutnya beralih status menjadi IKIP Negeri Gorontalo pada 2001 dan akhirnya menjadi Universitas Negeri Gorontalo pada 2004. Dalam setiap periode perubahannya, tentunya terdapat perjuangan dari seluruh elemen kampus, pemerintah daerah dan rakyat Gorontalo.
Dalam perjuangan untuk mewujudkan berdirinya provinsi Gorontalo, juga terdapat semangat patriotisme dari rakyat Gorontalo. Dimulai dari saat deklarasi provinsi Gorontalo pada 23 Januari 2000, sidang pleno DPRD Sulut pada 12 Februari 2000, persetujuan pemerintah provinsi Sulut pada 15 Februari 2000, pertemuan dengan ketua DPR-RI dan komisi II pada 17 Februari 2000, kunjungan komisi II DPR ke Gorontalo pada 9 Maret 2000, kunjungan pansus DPR ke Gorontalo pada oktober 2000, kunjungan tim independen DPOD ke Gorontalo pada 17 November 2000, serta kunjungan Mendagri ke Gorontalo pada 2 Desember 2000. Puncaknya adalah pada 5 Desember 2000 dalam sidang paripurna DPR-RI. Dalam pandangan akhirnya, seluruh fraksi DPR menyetujui RUU pembentukan provinsi Gorontalo menjadi Undang-undang. Pimpinan sidang mengetukkan palunya tanda provinsi Gorontalo resmi berdiri dan menjadi provinsi Indonesia yang ke 32. Sungguh suatu perjuangan yang tidak singkat, yang membutuhkan waktu 317 hari.
Perjuangan pembentukan provinsi Gorontalo didasari semangat untuk mengerahkan seluruh upaya dan kemampuan guna menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan potensi kesadaran untuk mempercepat pembangunan dan kemajuan masyarakat yang bermartabat dan berkeadilan dalam NKRI yang berdasarkan pacasila dan UUD 1945. Perjuangan ini bisa berhasil oleh karena kerja kolektif seluruh elemen masyarakat gorontalo diantaranya yang tergabung dalam Presnas P2G dan KP3G serta merupakan kelanjutan dari perjuangan sebelumnya. Pada era tahun 1960an, sejumlah tokoh Gorontalo pernah merintis pembentukan provinsi gorontalo, namun belum berhasil akibat minimnya kalangan terpelajar pada waktu itu.
Jejak langkah patriotisme rakyat Gorontalo ini harus diabadikan agar bisa dikenang dan dipelajari oleh generasi muda. Beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah diantaranya memperbanyak buku sejarah lokal Gorontalo, membuat film dokumenter, mencetak foto para pejuang untuk dipajang di sekolah dan lembaga pemerintah, mempertahankan bangunan-bagunan yang memiliki nilai historis, membangun sebuah museum yang mendokumentasikan seluruh perjuangan rakyat Gorontalo dan memberi nama jalan dengan nama tokoh pejuang Gorontalo.Momentum 69 tahun peristiwa pariotik 23 januari 1942 dan satu dasawarsa propinsi Gorontalo bisa dijadikan awalan yang baik untuk membumikan jejak langkah patriotisme rakyat Gorontalo.Selamat hari patriotik!

Peranan Pasukan Rimba di Gorontalo Dalam Upaya Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Kasus Peristiwa Permesta 1958).

http://mardinusi.blogspot.com 

Peranan Pasukan Rimba di Gorontalo Dalam Upaya Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Kasus Peristiwa Permesta 1958).

Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17
agustus 1945, maka bangsa Indonesia berjuang untuk mempertahankan
Kemerdekaan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gorontalo
yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, terlibat pula dalam
perjuangan melawan segala bentuk kekuasaan yang berusaha menghancurkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dibawah pimpinan tokoh perjuangan Nani
Wartabone, rakyat Gorontalo menolak masuknya kembali Belanda, menolak
terbentuknya Negara Indonesia Timur. Pernyataan Letkol D.J. Samba selaku
Panglima/Gubernur Militer KDM-SUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara
-Tengah) yaitu mendukung PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah
R.I, maka Nani Wartabone dengan dukungan rakyat Gorontalo menyatakan
melawan Permesta. Nani Wartabone dan pengikutnya yang disebut Pasukan
Rimba melakukan perlawanan terhadap Permesta dengan cara bergerilya dari
Suwawa sampai Bilunggala Kecamatan Bone Bantai. Masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana terbentuknya Pasukan Rimba di
Gorontalo; (2) bagaimana perlawanan Pasukan Rimba terhadap Permesta di
Gorontalo; (3) bagaimana peranan Pasukan Rimba dalam penumpasan Permesta
oleh tentara APRI di Gorontalo.
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan terbentuknya Pasukan Rimba
di Gorontalo, perlawanan Pasukan Rimba terhadap Permesta di Gorontalo, dan
bagaimana peranan Pasukan Rimba dalam penumpasan Permesta oleh  APRI
(Angkatan Perang Republik Indonesia) di Gorontalo.
Penelitian ini merupakan penelitian historis karena berusaha memaparkan
peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Penelitian historis dilakukan melalui
langkah-langkah yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi
(penafsiran) dan historiografi (penulisan sejarah). Heuristik dilakukan dengan
upaya mencari arsip, studi pustaka, dan wawancara dengan pelaku atau saksi
sejarah. Kritik dilakukan dengan cara kritik ekstern dan intern terhadap arsip,
buku atau hasil wawancara sehingga menghasilkan fakta sejarah. Interpretasi
dilakukan dengan mengkoparatifkan sumber setelah dilakukan kritik.
Historiografi merupakan proses akhir berupa karya tulis yang disusun secara
kronologis.
Hasil penelitian menunjukkan (1) karena dalam usaha melawan Permesta
Nani Wartabone dan pengikutnya melakukan gerilya di rimba (hutan) sehingga
pasukan Nani Wartabone diberi nama Pasukan Rimba; (2) Perlawanan Pasukan
Rimba terhadap Permesta merupakan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia
dalam upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasukanii
Rimba terlibat perang Permesta di beberapa tempat yaitu di Dumbaya Bulan,
Molingtogupo, Bonedaa, dan di Batu Tembaga (Tolotio) serta Tanjung Tongo
ketika Pasukan Rimba telah berada di Bilunggala; (3) Setelah datang bantuan dari
tentara APRI, Pasukan Rimba ikut serta dalam upaya penumpasan terhadap
Permesta. Bersama-sama dengan tentara APRI, Nani Wartabone dan Pasukan
Rimba melakukan operasi untuk membebaskan daerah Gorontalo dari kekuasaan
Permesta. Berhasilnya operasi penumpasan terhadap Permesta di Gorontalo oleh
APRI dan Pasukan Rimba maka Gorontalo kembali dibawah pemerintahan
Republik Indonesia

 

Nani Wartabone

http://mardinusi.blogspot.com 

Nani Wartabone

Nani Wartabone, (lahir 30 Januari 1907 – meninggal di Suwawa, Gorontalo, 3 Januari 1986 pada umur 78 tahun), yang dianugerahi gelar "Pahlawan Nasional Indonesia" pada tahun 2003, adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi yang terletak di Sulawesi Utara itu. Perjuangannya dimulai ketika ia mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo.
Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia bersama masyarakat setempat terlebih dulu memproklamasikan kemerdekaan Gorontalo, yaitu pada tanggal 23 Januari 1942.
Setelah tentara Sekutu dikalahkan Jepang pada Perang Asia-Pasifik, Belanda merencanakan pembumihangusan Gorontalo yang dimulai pada 28 Desember 1941 dengan mulai membakar gudang-gudang kopra dan minyak di Pabean dan Talumolo.

Memimpin perlawanan rakyat

Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo mencoba menghalanginya dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo. Pada 23 Januari, dimulai dari kampung-kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa (tempat lahirnya Agusrianto Huladu), Kabila dan Tamalate, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo bergerak mengepung kota. Pukul lima subuh Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah.

Proklamasi kemerdekaan

Selesai penangkapan, Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi lagu "Indonesia Raya" di halaman Kantor Pos Gorontalo. Peristiwa itu berlangsung pada pukul 10, dan Nani Wartabone sebagai inspektur upacaranya.
Di hadapan massa rakyat, ia berpidato: "Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban."
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya.
Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Jepang menguasai Gorontalo

Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang.
Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.
Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.

Jepang kalah

Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo. Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo tidak mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan harinya. Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945.
Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.

Ditangkap Belanda

Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo. Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946. Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Kembali ke Gorontalo

Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo, negeri yang diperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang bersamanya menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru dan tangis. Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut oleh rakyat Gorontalo. Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan dibawa keliling kota dengan semangat patriotisme.
Rakyat kemudian membaiatnya untuk menjadi kepala pemerintahan kembali. Namun Nani Wartabone menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ada pada saat itu. Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur. Menurutnya, RIS hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi.
Nani Wartabone kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan NKRI. Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang menyatakan menolak RIS.
Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang dan memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil.

Melawan PERMESTA

Ketenangan hidup Nani Wartabone sebagai petani kembali terusik, ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di Gorontalo setelah Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957. Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. la kembali memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di Jakarta.
Sayangnya, pasukan Nani Wartabone masih kalah kuat persenjataanya dengan pasukan pemberontak. Oleh karena itu, ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar hutan sekedar menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah, pasukan Nani Wartabone digelari "Pasukan Rimba".
Berbagai cara dilakukan Nani Wartabone agar bisa mendapat bantuan senjata dan pasukan dari Pusat. Baru pada bulan Ramadhan 1958 datang bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Berkat bantuan kedua pasukan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan inilah, Nani Wartabone berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.
Setelah PRRI/PERMESTA dikalahkan di Gorontalo itu, Nani Wartabone kembali dipercaya memangku jabatan-jabatan penting. Misalnya, sebagai Residen Sulawesi Utara di Gorontalo, lalu anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani. Setelah peristiwa G30S tahun 1965, Nani Wartabone kembali berdiri di barisan depan rakyat Gorontalo guna mengikis habis akar-akar komunisme di wilayah itu. Nani Wartabone yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota Dewan Perancang Nasional dan anggota DPA itu, akhirnya menutup mata bersamaan dengan berkumandangnya azan salat Jumat pada tanggal 3 Januari 1986, sebagai seorang petani di desa terpencil, Suwawa, Gorontalo.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional

Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu.

 

10 Perang Kemerdekaan Indonesia

http://mardinusi.blogspot.com 
1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 (Surabaya)


Gencatan senjata antara tentara Indonesia dan pihak Sekutu justru berbuntut ke insiden Jembatan Merah. BrigJen Mallaby yang kala itu berpapasan dengan milisi Indonesia terlibat baku tembak karena kesalahpahaman semata. Kematian Mallaby memicu kemarahan tentara Sekutu. MayJen Robert Mansergh yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 yang meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan semua persenjataan dan mengibarkan bendera putih. Tidak diindahkan, salah satu perang paling destruktif di Indonesiapun tak terelakkan. Inggris mengerahkan 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang untuk mengepung Surabaya. Arek-arek Surabaya tak mengenal kata menyerah. Dengan perlengkapan seadanya, mereka memutuskan untuk memberi perlawanan. 6.000 rakyat Indonesia tewas dan 200.000 lainnya harus mengungsi. Peristiwa Surabaya lantas menjadi pemicu upaya pertahanan kemerdekaan di wilayah lain.
2. Bandung Lautan Api (Bandung)
Ads by Media ViewAd Options
Ultimatum Tentara Sekutu kepada Tentara Rakyat Indonesia untuk meninggalkan kota Bandung memicu salah satu gerakan paling spektakuler di sejarah perang Indonesia ini. Sadar bahwa kekuatan senjata tidak akan berimbang dan kekalahan sudah pasti di depan mata, TRI tidak rela jika Sekutu memanfaatkan Bandung sebagai pusat militer untuk menginvasi wilayah yang lain. Berdasarkan hasil musyawarah, sebuah tindakan bumi hangus dipilih untuk memastikan hal ini tidak terjadi. 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka selama kurun waktu 7 jam dan bersama bergerak mengungsi ke wilayah selatan. 



3. Operasi Trikora (Irian Barat)
Ads by Media ViewAd Options
Operasi Trikora digelar dengan satu tujuan utama yang sederhana namun jelas dengan berbagai usaha: merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia. Belanda yang keras kepala dan tidak ingin menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia harus merasakan konsekuensi yang tidak ringan dari keputusannya tersebut. Berbekal persenjataan berat yang baru saja didapatkan dari Uni Soviet, sebuah operasi militer besar-besaran dikerahkan; terbesar yang pernah dilakukan Indonesia sepanjang sejarah. 


4. Serangan Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta)

Indonesia semakin berani ketika perlengkapan senjata dan koordinasi militernya yang masih muda mulai menunjukkan potensi pertahanan yang cukup kuat. Belanda yang di kala itu sedang menjajal usaha invasi keduanya datang seolah tak terbendung. Namun, TNI tidak tinggal diam. Sebuah rencana serangan disusun untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya memiliki sebuah kemampuan sebuah negara berdaulat, tetapi juga eksistensi badan militer. Yogyakarta dipilih sebagai ajang pembuktian. Selain sebagai ibu kota, Yogyakarta kala itu juga memuat banyak wartawan asing yang signifikan untuk publisitas dan memperkenalkan Indonesia. Serangan dimulai saat fajar, berlangsung selama 6 jam, dan berhasil memukul mundur Belanda.

5. Pertempuran Laut Aru (Maluku)
Tidak diragukan lagi, perang laut paling dramatis yang pernah terjadi di Indonesia adalah Pertempuran Laut Aru yang merupakan bagian dari operasi Trikora. Tiga kapal perang tempur Indonesia yang ditugaskan melakukan operasi penyusupan, RI Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, dan RI Harimau, harus berhadapan dengan sebuah takdir buruk. Operasi yang seharusnya berjalan rahasia ini ternyata terendus oleh pihak otoritas Belanda. Mereka mengirimkan dua kapal jenis destroyer dan pesawat tempur untuk menenggelamkan ketiga kapal perang Indonesia. Namun, dengan heroiknya, RI Matjan Tutul memutuskan untuk maju dan mengalihkan perhatian musuh, memberikan kesempatan kepada dua kapal yang lain untuk melarikan diri. Komodor Yos Sudarso wafat dalam pertempuran ini.


6. Operasi Dwikora (Malaysia)
Kecemasan Soekarno bahwa Malaysia dan Kalimantan Utara akan menjadi kaki tangan kolonial membuat operasi Dwikora dikerahkan. Malaysia yang kala itu berada di bawah wewenang kekuasaan Inggris diberikan kesempatan untuk melakukan referendum dan menentukan nasibnya sendiri. Namun, masyarakat Malaysia saat itu justru mulai menghasilkan sikap anti-Indonesia dan "meludahi" Tanah Air kita. Soekarno yang marah memutuskan untuk berperang. Sebuah pidato terkenal, Ganyang Malaysia, juga diproklamasikan saat itu. Perang agen rahasia, sabotase, dan militer terbuka dikerahkan. Indonesia harus melawan tiga negara sekaligus: Malaysia, Inggris, dan Australia. 

Instruksi Presiden Soekarno pada tanggal 31 Agustus 1945 untuk mengibarkan bendera Merah Putih di seluruh pelosok Nusantara tidak serta-merta membuat kedaulatan Indonesia berjaya. Belanda tampaknya tak kehilangan akal untuk terus menancapkan taringnya di atas Tanah Air. Berkedok sebuah lembaga kemanusiaan, Intercross, Belanda melakukan langkah-langkah politik dan berunding dengan pihak Jepang di Hotel Yamato. Pada tanggal 18 September 1945, sekelompok orang Belanda W.V. Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di atas hotel tersebut. Tentu saja ini memicu kemarahan besar rakyat Surabaya. Para pemuda berkumpul di luar hotel dalam jumlah masif, marah karena kedaulatan Indonesia yang terinjak. Mereka merangsek paksa, masuk ke dalam hotel dan memicu apa yang kita kenal sebagai Insiden Hotel Yamato. Bagian biru bendera Belanda tersebut dirobek. Bendera yang kini hanya menyisakan warna merah dan putih dikibarkan kembali dengan disertai pekik "Merdeka" para pemuda Surabaya. 


8. Perang Gerilya Soedirman
Tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sosok kharismatik, Jenderal Soedirman. Dalam kondisi kesehatan yang bahkan tidak memungkinkan untuk bergerak sendiri, Jenderal Soedirman tetap memimpin pergerakan dari atas tandu. Taktik utamanya adalah dengan bergerilya, menyerang pasukan musuh, dan kemudian bersembunyi. Beliau adalah ahli strategi yang mumpuni dan sering berhasil menyerang pasukan Belanda dan Sekutu di titik-titik yang memang berdampak signifikan. Sayangnya, beliau harus kalah kepada ketidakberdayaan melawan penyakit tuberkolosis yang semakin parah. 


9. Perang Ambarawa (Semarang)
Sekutu memang tidak pernah berhenti berulah. Kedatangan awal di Semarang untuk semata mengurus tahanan perang Jepang justru berbuntut menjadi kekacauan. Rakyat marah ketika melihat para tahanan yang sebagian besar merupakan eks-tentara Belanda tersebut justru dipersenjatai. Serangan dilancarkan oleh Tentara Keamanan Rakyat yang berhasil memukul mundur pasukan Sekutu hingga mereka terpaksa bertahan di kompleks gereja. Tanggal 12 Desember 1945, kesatuan-kesatuan TKR datang untuk menyerang dan memulai perang selama 1,5 jam. Melalui strategi flanking, Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan memukul mundur Sekutu. 


10. Puputan Margarana (Bali)
 

Bagi Anda yang belum mengenal sejarah Bali sebelumnya, Puputan mungkin tampil sebagai sebuah konsep yang masih asing terdengar. Namun, bagi yang pernah mempelajarinya, Puputan merupakan tindakan paling patriotik yang ada dalam sejarah Indonesia. Puputan adalah tradisi masyarakat Bali untuk memberikan perlawanan terhadap siapa pun agresor yang berani menyentuh Tanah Air hingga titik darah penghabisan. Tidak ada kata mundur, tidak ada kata menyerah. Salah satu perang puputan paling dramatis adalah Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Dalam usaha mempertahankan desa Marga dari serangan NICA, Ngurah Rai yang berhasil merampas senjata api dari tentara Belanda berkomitmen untuk mengobarkan perang perlawanan hingga titik darah penghabisan. Tentara Belanda yang sempat kewalahan dan kalah terpaksa meminta bantuan sebagian besar pasukannya di Bali dan pesawat pengebom dari Makassar untuk membasmi perlawanan ini. 96 orang tewas, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Dari pihak Belanda? Kurang lebih 400 orang tewas.

Peristiwa 10 November

http://mardinusi.blogspot.com 
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Kronologi penyebab peristiwa

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya


Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby


Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak


Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Surabaya
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... " [4]

10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.

Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. [3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Sejarah Indonesia (1945–1949)

Indonesia declaration of independence 17 August 1945.jpg
http://mardinusi.blogspot.com 
Sejarah Indonesia selama 1945—1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

1945

Kembalinya Belanda bersama Sekutu

Latar belakang terjadinya kemerdekaan

Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).

Mendaratnya Belanda diwakili NICA

Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.

Pertempuran melawan Sekutu dan NICA

Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
  1. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
  2. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
  3. Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
  4. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
  5. Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya.
  6. Pertempuran Margarana, di Bali
  7. Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta
  8. Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
  9. Pertempuran Lima Hari, di Semarang

Ibukota pindah ke Yogyakarta

Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.[1]
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api, yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.[2]

1946

Perubahan sistem pemerintahan

Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.

Diplomasi Syahrir

Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.

Penculikan terhadap PM Sjahrir

Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.

Kembali menjadi PM

Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."

Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru

Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.

1946-1947

Peristiwa Westerling

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Perjanjian Linggarjati

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
  • Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
  • Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati

Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.

Proklamasi Negara Pasundan

Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).

Agresi Militer I

Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
  2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
  3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
  4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
  5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.

Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri

Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.

1948

Perjanjian Renville

Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.

Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri

Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatera Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.

1948-1949

Agresi Militer II

Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta

Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Perjanjian Roem Royen

Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.

Serangan Umum Surakarta

Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.

Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:

Penyerahan kedaulatan oleh Belanda

Bung Hatta di Amsterdam, Belanda menandatangani perjanjian penyerahan kedaulatan.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.